Selasa, 30 September 2008

Serakah + Konsumerisme = Krisis Ekonomi, Sebuah Pembelajaran


Sudah sebulan terakhir ini perekonomian dunia, khususnya perekonomian dalam aspek moneter mengalami saat-saat ketidakpastian. Saham-saham di berbagai bursa berjatuhan seperti daun di musim gugur. Halaman-halaman media di penuhi oleh foto-foto wajah para pemain bursa yang terkejut, sedih, kaget, atau menutupi wajahnya.

Seperti yang sudah di beritakan oleh media, bahwa kejatuhan harga saham, dan ketidak pastian ekonomi itu itu merupakan akibat langsung dari bangkrutnya perusahaan pengelola keuangan Lehman Brothers, dan kebangkrutan yang di alami Lehman Brothers merupakan akibat dari subprime mortage, yaitu pinjaman kredit rumah bagi orang-orang yang sebenarnya tidak memiliki syarat yang cukup untuk mengambil kredit rumah secara finansial. (hal ini terjadi sejak tahun 2007) Anehnya, orang yang tidak layak diberi pinjaman masih di berikan pinjaman, Ini lah letak penyakit dari krisis ekonomi sebenarnya.

Saya membaca di dalam tulisan sebuah website ternama, CNN, bahwa para pemberi kredit (perusahaan keuangan, misal bank) , memberikan kredit kepada konsumennya secara berlebihan agar para peminjam uang bisa meminjam uang sampai batas kemapuan finansialnya, yang artinya para perusahaan investasi di Amerika berusaha untuk memutar uang yang tersimpan di perusahaannya secara maksimal (bukan optimal), agar semua uang yang ada bisa di pinjamkan dengan tujuan untuk mengambil keuntungan bunga tanpa memperhatikan secara seksama keadaan keuangan si peminjam. Bahkan seorang kakek berumur 71 tahun pun ketika hendak meminjam uang sebesar 100.000 USD langsung di berikan pinjaman. Bukankan ini sesuatu yang konyol? maka disini bisa kita lihat betapa serakah nya para perusahaan pengelola keuangan, mereka sudah menjadi buta karena mengharap keuntungan dari bunga pinjaman sehingga melupakan prinsip-prinsip kelayakan kredit. Perusahaan yang memberikan pinjaman kredit (kreditor) hendaknya meneliti lebih sungguh bagaimana keadaan dari peminjam uang(debitor), apakah pinjaman sanggup di kembalikan dalam jangka waktu yang di tentukan, serta memberikan bunga yang wajar dalam pinjaman tersebut.

Di sisi lain para peminjam uang tidak memiliki pengetahuan yang cukup akan kebutuhannya sendiri. Penduduk global sekarang ini masih memiliki sikap konsumerisme yang tinggi, hal ini sebenarnya juga di dorong oleh perusahaan keuangan itu sendiri, ironis bukan? contoh saja kartu kredit yang selalu ditawarkan dari tempat perkantoran yang paling mewah, sampai pada jembatan-jembatan penyeberangan di daerah sudirman. Mereka menawarkan kartu kredit dengan berbagai fitur-fitur diskon untuk makan dan berbagai produk, juga setelah kita menerima kartu kredit, maka ada katalog yang tiap bulannya datang menghampiri kita dengan tawaran-tawaran yang menuliskan 0 persen pada produk-produk yang di tawarkan, yang sebenrnya kalau di teliti, harga yang tertera selalu lebih tinggi dari pada harga yang ada di pasar. Menabung telah digantikan oleh pembayaran hutang pada barang-barang yang belum tentu kita butuhkan, karena masyarakat tidak dapat membedakan kata kebutuhan dan keinginan. Kebutuhan (suatu barang) merupakan produk utama yang benar-benar kita perlukan agar tetap bisa hidup, sedangkan keinginan akan suatu produk tertentu belum tentu merupakan hal yang kita benar-benar perlukan. Jadi berhati-hati untuk membeli suatu produk dengan mempertimbangkan apakah ini merupakan kebutuhan, atau keinginan.

Nah bisa kita simpulkan bahwa

Keserakahan (pemberi pinjaman)+ Konsumerisme(penerima pinjaman) = Krisis ekonomi.

Trend yang sekarang terjadi di Indonesia tidak jauh berbeda dengan apa yang ada di Amerika, pertumbuhan kartu kredit begitu pesat, dan satu sisi konsumerisme juga tetap menjadi suatu fenomena yang terjadi di dalam masyarakat kita, entah karena gengsi atau hanya ingin memiliki suatu barang tertentu untuk kesenangan saja, maka jatuhnya bank-bank dan perusahaan keuangan akibat dari gagal bayar sudah di depan mata, jika bank-bank dan perusahaan-perusahaan keuangan di Indonesia tidak belajar dari krisis keuangan ini, maka kebangkrutan perusahaan-perusahaan keuangan di Indonesia juga akan segera terjadi.

Rabu, 10 September 2008

2 Konsep Tentang Waktu


Sudah lama saya merenungkan tentang waktu, dan setelah lama merenungkan, saya melihat waktu pada umumnya punya 2 konsep.
Pertama konsep waktu itu merupakan penggerak dari segala yang ada di bumi ini. Waktu merupakan pendorong dari segala sesuatu yang eksis di bumi. Setiap gerak, setiap peristiwa, hidup, mati, tertawa, sedih, terbang, jatuh, semua berada di dalam lingkup waktu, dan jika waktu itu berhenti, maka segala sesuatu di alam semesta ini akan berhenti, tidak bergerak, karena segala sesuatunya didorong oleh waktu. Konsep ini di pegang oleh banyak orang pada umumnya.
Yang kedua konsep waktu yang hanya sebagai durasi. Konsep waktu sebagai durasi saja, ini berarti waktu bukanlah pendorong dari segala sesuatu yang ada. waktu hanya bisa di "observasi" apabila waktu tersebut telah lewat, karena kita tidak dapat mengetahui dengan pasti, apakah waktu merupakan pendorong dari segala peristiwa, tetapi yang pasti diketahui adalah bahwa setiap gerak dapat dihitung waktunya (jika sudah lewat) dalam satuan tertentu, detik atau menit misalnya.
Saya akan mencoba memperjelas perbedaan diantara dua konsep ini dengan sebuah ilustasi. Bayangkan ada lomba lari sprint. Setip pelari sudah siap di garis start. Ketika tanda berbunyi maka pelari akan berlari secepat-cepatnya menuju garis finish. Jika kita meilhat konsep waktu yang pertama, maka pada saat pelari berlari dengan menggunakan waktu dan di dorong oleh waktu, maka tanpa waktu si pelari tidak dapat berlari sama sekali, jadi waktu dan gerakan lari si pelari menjadi dua faktor yang membuat si pelari dapat berlari dan mencapai garis finish. Jika mengikuti konsep kedua, maka waktu sama sekali bukan merupakan faktor pendorong sehingga pelari dapat berlari, yang membuat pelari dapat berlari hanyalah gerakan kaki dari pelari tersebut, waktu itu hanya dapat di lihat ketika pelari sudah mencapai garis finish karena di lihat hanya sebagai durasi saja(waktu sudah lewat). Misalnya pada saat di garis finish maka pelari menyelesaikan track lari tersebut dalam waktu 15 detik, nah disini waktu hanya di lihat sebagai durasi saja.
waktu sebagai durasi berarti waktu hanya dapat di kenal jika sudah lewat, yang pada kenyataannya sehari-hari memang begitu, tetapi waktu sebagai pendorong segala sesuatu merupakan sesuatu yang sama sekali belum bisa di buktikan. karena kita tidak dapat mnegetahui dengan pasti, apakah memang waktu yang mendorong segala sesuatu. Kalau begitu mungkin ada keberatan-keberatan akan pendapat ini, karena jika waktu sebagai pendorong itu tidak ada, bagaimana manusia dapat memiliki keasdaran akan waktu? Jawaban saya, apakah jika segala sesuatu yang mungkin manusia pikirkan atau di sadari hanya di dalam pikirannya pasti merupakan sesuatu yang ada secara nyata?
Saya pribadi masih lebih cenderung mengambil konsep kedua, waktu hanya sebagai durasi, karena pergerakan waktu dan waktu yang menggerakan segala alam semesta ini adalah sesuatu yang belum dapat di buktikan.